KALTIM – DPD Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Kalimantan Timur (Kaltim) baru saja menggelar Rapat Kerja Daerah (Rakerda) perdana pascapemilihan umum, di Hotel Puri Senyiur, Samarinda, Minggu 23 November 2025.
Selain menjadi ajang konsolidasi bagi penguatan internal DPD Gerindra Kaltim, Rakerda ini juga diwarnai dengan keputusan politik tiga kepala daerah di sana.
Ketiganya memutuskan untuk bergabung bersama partai besutan Prabowo Subianto tersebut. Masing-masing Bupati Kutai Kartanegara, Aulia Rahman Basri, Bupati Penajam Paser Utara, Mudyat Noor dan Bupati Mahakam Ulu, Angela Idang Belawang.
Juga mantan Ketua DPRD Berau, Madri Pani ikut bergabung ke Gerindra.
Ketua DPD Gerindra Kaltim, Seno Aji menganggap, keputusan politik para kepala daerah itu merupakan angin segar bagi partainya. Energi baru dalam menghadapi dinamika politik ke depannya.
“Kehadiran mereka tentu membawa kekuatan baru untuk Gerindra menghadapi dinamika politik ke depan,” kata Seno Aji, mengutip headlinekaltim.co, Rabu 26 November 2025.
Seno Aji juga tegas bilang, Gerindra Kaltim akan terus melahirkan kader-kader yang siap maju bertarung pada Pilkada 2029 mendatang. Tentu, itu tidak terlepas dari hasil evaluasi kinerja-kinerja politik nantinya.
“Target kami jelas. Harus ada kader Gerindra yang duduk sebagai bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota, mau pun anggota DPR di semua level,” pungkasnya.
Seno Aji pun menekankan, jika Rakerda ini menjadi langkah awal bagi Gerindra di Kaltim untuk mengoptimalkan seluruh program prioritas Presiden RI, Prabowo Subianto.
Dengan begitu, Seno Aji yang juga Wakil Gubernur (Wagub) Kaltim itu meminta kepada seluruh kader Gerindra di semua tingkatan turut menyukseskan program nasional. Seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Sekolah Unggulan.
“Rakerda ini sekaligus menjadi ajang evaluasi kinerja Pemilu 2024, mulai dari efektivitas struktur hingga kekuatan elektoral,” tambahnya.
Modal Seno Aji Naik Kelas?
Merapatnya tiga kepala daerah ke Gerindra itu mendapat tanggapan dari Pengamat Politik dan Kebijakan Publik yang sekaligus Direktur Profetik Institute, Asratillah.
Baginya, hal tersebut memperkuat modal politik Seno Aji secara struktural dan simbolik. Atau tepatnya, bagian dari proses konsolidasi blok kekuasaan baru di Kaltim. Sangat berpotensi mengubah keseimbangan internal koalisi partai menjelang Pilkada 2029.
“Dalam politik lokal, kepala daerah bukan hanya figur elektoral, tetapi juga simpul modal sosial, seperti akses ke jaringan birokrasi, tokoh masyarakat, dan mesin politik informal. Ketika mereka berada dalam satu rumah partai dengan Ketua DPD Gerindra Kaltim, ini memperluas infrastruktur politik yang bisa digunakan untuk konsolidasi menjelang Pilgub (Kaltim),” sebut Asratillah berpendapat.
“Seno Aji diuntungkan karena memiliki posisi formal sebagai Wakil Gubernur sekaligus Ketua Gerindra, sehingga memiliki jalur struktural dan simbolik sekaligus. Tetapi, ini juga berpotensi memicu resistensi dari poros partai lain yang merasa terancam, sehingga kompetisi justru bisa menjadi lebih keras,” papar Asratillah.
Meski demikian, peluang Seno Aji untuk bisa maju sebagai calon Gubernur pada Pilkada 2029 mendatang, harus mendapat sokongan dari dua dimensi.
Yakni, kekuatan elite di pusat dan penerimaan pemegang hak pilih.
“Besar atau tidaknya peluang Seno Aji tidak otomatis ditentukan oleh arus masuk elit. Politik elektoral selalu bekerja dalam dua dimensi, yakni kekuatan elite dan penerimaan pemilih. Bergabungnya para bupati adalah kekuatan “atas”, tetapi kemenangan ditentukan di “bawah” — persepsi publik, kepuasan pemilih terhadap kinerja, serta kemampuan membangun narasi kepemimpinan yang kredibel. Jika perpindahan ini dibaca publik sebagai politik akomodatif atau “transaksional”, efek elektoralnya bisa melemah,” jelas Asratillah.
“Jadi, secara analitis, sikap politik tiga kepala daerah ini memang memperkuat posisi tawar Seno Aji dalam bursa Pilgub, tetapi bukan tiket emas yang otomatis mengantar kemenangan. Ia adalah penguat fondasi, bukan penentu garis akhir. Ke depan, kunci ada pada bagaimana konsolidasi ini dikonversi menjadi kepercayaan publik, bukan sekadar aritmatika elite. Di titik inilah kualitas narasi, kinerja, dan kemampuan membaca psikologi pemilih akan menjadi variabel paling menentukan,” kunci Asratillah menyudahi. (*/bs)










