MAKASSAR – Keberadaan Depo Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Pertamina di Makassar kembali menjadi perbincangan serius. Lokasinya yang kini dikelilingi permukiman padat penduduk memunculkan kekhawatiran besar akan potensi bahaya.
Peneliti dan pengamat kebijakan ekonomi publik dari Public Policy Network (Polinet), Najamuddin Arfah menyoroti bahwa Depo TBBM Pertamina Makassar tidak lagi ideal dan berpotensi menjadi “bom waktu” bagi kota, desakan ini diperkuat dengan hasil penelitian dan policy brief yang pernah diterbitkan oleh Public Policy Network (Polinet) beberapa waktu lalu.
Menurut Najamuddin Arfah, permasalahan Depo TBBM Pertamina Makassar sangat kompleks, melibatkan aspek tata ruang, risiko bencana, dan dampak lingkungan yang serius.
Data dari penelitian Polinet yang pernah dirilis menunjukkan bahwa dinamika pertumbuhan kota Makassar pasca-pembangunan Depo pada era 1960-an telah menciptakan anomali tata ruang yang berbahaya.
“Dulu, saat Depo itu dibangun, lokasinya mungkin jauh dari permukiman warga. Namun, laporan penelitian kami menunjukkan bahwa pertumbuhan kota Makassar sangat pesat dan agresif dalam tiga dekade terakhir. Kini, Depo itu seperti ‘terkepung’ oleh rumah-rumah penduduk, perkantoran, dan fasilitas umum lainnya,” jelas Najamuddin saat dihubungi oleh media di Makassar.
Jika merujuk pada pemetaan kepadatan penduduk dan zonasi permukiman yang semakin mendekat, bahkan menempel pada batas Depo. Kondisi ini, lanjut Najamuddin, menciptakan situasi yang sangat berbahaya.
“Jika terjadi insiden sekecil apa pun, seperti kebakaran atau kebocoran gas, simulasi risiko kami menunjukkan dampaknya bisa sangat masif dan mematikan. Kami tidak hanya bicara soal kerugian materi yang bisa mencapai triliunan rupiah, tapi juga potensi korban jiwa warga yang tinggal di sekitarnya,” tegasnya.
Policy brief yang diterbitkan Polinet juga bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa Depo TBBM Makassar saat ini melanggar prinsip dasar tata ruang kota ideal, yang mengharuskan fasilitas vital dengan risiko tinggi memiliki zona penyangga (buffer zone) yang memadai dari area permukiman.
“Jarak aman yang seharusnya diterapkan untuk fasilitas sekelas Depo TBBM ini tidak lagi terpenuhi. Ini adalah ancaman serius yang butuh perhatian segera dan terukur,” imbuhnya.
Najamuddin Arfah menekankan bahwa rekomendasi utama dari Polinet yang tertuang dalam policy brief adalah merelokasi Depo TBBM Pertamina Makassar ke lokasi yang lebih jauh dari permukiman padat dan terintegrasi dengan rencana pembangunan infrastruktur logistik regional.
“Perpindahan Depo ini bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan mendesak yang berdasarkan pada hasil kajian risiko dan analisis keberlanjutan kota. Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kota Makassar, harus duduk bersama dengan Pertamina, Kementerian ESDM, dan Kementerian ATR/BPN untuk mencari solusi terbaik dan menyiapkan lokasi alternatif yang lebih aman dan strategis,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Polinet menyadari proses relokasi memang tidak mudah dan membutuhkan investasi besar serta perencanaan yang matang, termasuk aspek pembebasan lahan, pembangunan infrastruktur baru, dan mitigasi dampak ekonomi.
Namun, dibandingkan dengan potensi kerugian finansial dan sosial yang bisa ditimbulkan oleh insiden di Depo tersebut, biaya relokasi akan jauh lebih kecil dan merupakan investasi untuk keselamatan.
Najamuddin berharap rekomendasi Polinet sebelumnya dapat segera dipertimbangkan dan diimplementasikan oleh pemangku kebijakan demi masa depan Makassar yang lebih aman dan berkelanjutan
“Kami menyarankan dibentuknya gugus tugas khusus yang melibatkan lintas sektor untuk percepatan proses ini. Kita tidak bisa menunggu sampai terjadi bencana baru bertindak. Pencegahan adalah hal yang utama, dan data kami menunjukkan urgensinya. Keselamatan dan keamanan warga harus menjadi prioritas nomor satu,” tutup Najamuddin (**)